"Bismillahirrahmanirrahim"

"Bismillahirrahmanirrahim"

Perkawinan Rasulullah SAW


Menurut Muhammad Ali (bukan juara tinju internasional), dalam bukunya Muhammad De Profeet, ia menyimpulkan bahwa: “Seluruh perkawinan Nabi Muhammad saw. mengandung tujuan dan nilai-nilai moral yang tinggi.”
Hal ini dapat dilihat dari proses perkawinan Nabi Muhammad saw. dengan isteri-isteri beliau, yang dibagi kepada periode monogami dan poligami sebagai berikut:
Periode Monogami ialah periode rumah tangga Nabi saw. dengan satu orang isteri, yaitu dari usia beliau 25 tahun hingga 53 tahun.
1. Khadijah binti Khuwailid. Nabi Muhammad saw. menikahinya dalam usia 25 tahun, sedangkan Khadijah adalah janda berusia 40 tahun. Ia hidup bersama Rasulullah saw. sejak sebelum turun wahyu selama lima belas tahun, dan sesudahnya hingga tahun ke-3 sebelum Hijriah. Selama bersama Khadijah, beliau memperoleh dua orang putra dan empat orang putri. Nama putra-putri beliau secara urut, ialah Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kaltsum dan Fathimah. Rasulullah saw. tidak pernah menikah dengan perempuan lain hingga wafatnya Khadijah pada tanggal 11 Ramadhan dalam usia 65 tahun. Artinya, selama Khadijah masih hidup, beliau menjalankan perkawinan monogami.

Periode Poligami ialah periode rumah tangga Nabi saw. dengan beberapa orang isteri, yaitu sekitar usia 55 tahun hingga 60 tahun.

2. Saudah binti Zam’ah, seorang janda dari Sukran bin Amru yang pernah ikut hijrah ke Habasyah dan meninggal dunia di sana. Perkawinan ini terjadi setahun sebelum hijrah ke Madinah. Ia meninggal pada tahun 55 Hijriyah.
3. ‘Aisyah binti Abu Bakar ra. Ia dinikahi oleh Rasulullah saw di Mekah, dua tahun sebelum hijrah pada usia enam atau tujuh tahun. Beliau hidup berumah tangga dengannya di Madinah ketika ia telah berusia sembilan tahun. ‘Aisyah ditinggal wafat oleh Rasulullah saw. ketika berusia 18 tahun. Ia meninggal dunia pada tahun 58 H. Rasulullah tidak kawin dengan gadis perawan selain dengannya.
4. Hafshah binti ‘Umar ibn Khaththab, seorang janda dari sahabat Nabi saw., Hasan bin Huzaifah yang meninggal usai Perang Badar di Madinah. Ia dikawini Nabi saw. pada tahun ke-3 Hijriyah dan wafat pada tahun 45 Hijriyah.
5. Zainab binti Khuzaimah. Zainab adalah janda dari ‘Abdullah bin Jahsy yang gugur dalam Perang Uhud. Perkawinan itu terjadi pada tahun ke-3 Hijriyah.
6. Hindun binti Umaiyah. Seorang janda dari ‘Abdullah bin Abdul Asad yang gugur dalam Perang uhud. Perkawinan itu terjadi pada tahun ke-4 Hijriyah. Di antara isteri-isteri Rasulullah saw., dialah yang paling akhir meninggal yaitu pada tahun 62 Hijriyah.
7. Zainab binti Jahsy, yaitu janda dari anak angkat Rasulullah saw., Zaid bin Haritsah. Hikmah dari menikahi bekas isteri anak angkat tersebut ialah untuk menghapus praktek bid’ah jahiliyah yang mengharamkan menikahi bekas isteri anak angkat. Sebab, ajaran Islam memperbolehkan menikahi bekas isteri dari anak angkat.
8. Juwairiyah binti Harits ialah seorang janda yang menjadi tawanan pada peperangan Bani Musthaliq. Ia dibebaskan oleh Rasulullah saw. dan dikawininya pada tahun ke-5 Hijriyah. Juwairiyah wafat pada tahun 56 Hijriyah.
9. Ramlah binti Abu Sufyan. Ia adalah janda dari Ubaidillah bin Jahsy yang keluar dari Islam (murtad). Rasulullah saw. mengawininya di Habasyah pada tahun ke-7 hijriyah. Maskawinnya dibayarkan oleh Raja Habasyah (Najasyi) sebanyak 400 dinar emas. Ia wafat pada tahun 44 Hijriyah.
10. Shafiyah binti Huyay, seorang janda dari Kinanah yang meninggal dalam Perang Khaibar. Ia tertawan pada perang Khaibar, lalu dibebaskan oleh Rasulullah saw., dan pembebasan ini menjadi maskawinnya. Ia dinikahi Rasulullah saw. pada tahun ke-6 Hijriyah dan wafat pada tahun 50 Hijriyah.
11. Maria al-Qibthiyah (Mesir), seorang janda persembahan dari Raja Mesir. Darinya Rasulullah saw. memperoleh seorang putra bernama Ibrahim.
12. Maimunah binti Harits. Nabi saw. menikahi janda berumur 50 tahun ini pada tahun ke-7 Hijriyah. Dia adalah wanita terakhir yang dikawini Nabi saw., sebagai ibunda kaum mukminin. Ia wafat pada tahun 51 hijriyah.
Pada usia 60 tahun, ketika peperangan telah selesai dan Mekah sudah dapat direbut kembali oleh kaum muslimin, Rasulullah saw. tidak pernah menikah lagi. Beliau memilih masing-masing dari isteri beliau adalah untuk menjaga kemaslahatan dalam pelaksanaan hukum Islam, perbaikan akhlak, kasih sayang dan keharmonisan serta pemeliharaan janda dan anak yatim. Beliau menarik para pemuka suku dengan hubungan kekeluargaan melalui perkawinan, dan mengajarkan kepada umatnya bagaimana cara menghormati wanita dan memuliakan kehormatan mereka serta berbuat adil dalam pembagian giliran antara mereka. Beliau meninggalkan beberapa isteri sebagai (Ummu al-Mu’minin) ibunda orang-orang beriman, untuk mengajarkan kepada para wanita muslimah mengenai hukum yang mesti mereka ketahui yang tidak dipelajari oleh kaum lelaki. Sebab, jika beliau hanya meninggalkan satu orang isteri saja sebagai pengemban tugas tersebut, maka dikhawatirkan kebutuhan umat Islam akan penjelasan ajaran Islam yang masih bersifat global itu tidak akan terpenuhi. Dengan demikian, perkawinan Rasulullah saw. dengan isteri-isterinya tidaklah didasari oleh hawa nafsu belaka, tetapi mempunyai hikmah yang sangat besar dan mulia.
Kisah tentang Hafshah binti Umar bin Khaththab.
Diceritakan dalam tarikh, bahwa salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang bernama Hasan bin Huzaifah wafat dalam Perang Badar. Hasan mempunyai isteri bernama Hafshah bin Umar ibnu Khaththab. Kematian Hasan membuat sedih hati Umar karena besar sekali pengaruhnya terhadap anaknya. Umar berusaha mencarikan suami untuk putrinya. Pertama kali, ia menawarkan putrinya kepada sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq, mertua dan sahabat Nabi saw. Namun, Abu Bakar tidak menghiraukan tawaran Umar tersebut. Lalu Ia datang kepada Utsman bin Affan yang baru ditinggal wafat oleh isterinya yang bernama Ruqayah binti Rasulullah saw. Akan tetapi, Utsman pun menyatakan belum ada hasrat untuk menikah lagi. Padahal, sebenarnya Utsman sudah berpikir untuk menikah lagi dengan putri Rasulullah saw. yang bernama Ummu Kaltsum, adik Ruqayah.
Dengan penolakan kedua sahabatnya itu, Umar menjadi sedih. Hal itu diketahui oleh Rasulullah saw. dan menghibur hatinya yang sedang gelisah dengan sabdanya: “Hafshah akan kawin dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman, dan Utsman pun akan kawin dengan seorang wanita yang lebih baik daripada Hafshah.” 
Rasulullah saw. sendiri rupanya sudah lama menaruh perhatian terhadap nasib Hafshah itu, dengan beberapa pertimbangan khusus. Hal itu sudah pernah dikemukakan kepada Abu Bakar ra. secara sembunyi-sembunyi. Setelah Rasulullah saw. mengawini Hafshah, barulah Abu Bakar mengungkapkan latar belakang penolakannya kepada Umar dengan ungkapan, “Janganlah engkau kecil hati atau sakit hati padaku ketika aku diam atas tawaranmu untuk mengawini putrimu Hafshah. Waktu itu aku telah mendengar sendiri, Rasulullah menyebut-nyebut nama Hafshah. Aku tidak mau membuka rahasia ini sebelum menjadi kenyataan.” Perkawinan Rasulullah saw. dengan Hafshah binti umar terjadi pada tahun ke-3 Hijriyah. Begitulah sekelumit gambaran bagaimana intimnya Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya dalam urusan perkawinan, yang semuanya itu mempunyai tujuan untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan perjuangan.
Bahan Bacaan:
Al-Busyra fi Manaqib al-Sayyidah Khadijah al-Kubra karangan Dr. Sayyid Muhammad bin ‘Alwy al-Maliki.
Al-Rasul fi Baitihi karangan Abdul Wahhab Hammudah.
Mencari Cahaya dari Ilmu Ulama karangan Drs. Mashuri Iqbal dan Drs. Ii Sufyana M. Bakri.
Tarikh al-Hawadits wa al-Ahwal an-Nabawiyah karangan Dr. Sayyid Muhammad bin ‘Alwy al-Maliki.

Bagikan ke

0 Response to "Perkawinan Rasulullah SAW"

Post a Comment

About Me

My photo
Melak, Kalimantan Timur, Indonesia
Assalamu'alaikum wr. wb. Saya berharap kehadiran blog ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin demi tegaknya Islam di muka bumi. Amin...

Follow Me on